Monday, June 23, 2025

JURNAL PEMBELAJARAN MODUL 3 FILOSOFI PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN NILAI

 

JURNAL PEMBELAJARAN MODUL 3

FILOSOFI PENDIDIKAN DAN PENDIDIKAN NILAI

AKSI NYATA – URGENSI PENGATURAN  GURU MELALUI KODE ETIK

DALAM PERAN SEBAGAI PENDIDIK

 

Di Susun oleh :

Abdul Haris Azis


LPTK UNIVERSITAS MUHAMMADYAH PROF. DR. HAMKA

PPG GURU TERTENTU TAHAP 1 TAHUN 2025 




A.   PENDAHULUAN

 

          Setiap profesi secara inheren menuntut adanya suatu kode etik yang berfungsi sebagai landasan filosofis-moral dan kerangka kerja normatif. Kode etik ini menjadi prasyarat bagi terwujudnya praktik profesional yang menjunjung tinggi prinsip integritas dan akuntabilitas. Dalam lingkup profesi keguruan, kode etik memegang signifikansi strategis sebagai instrumen untuk membangun dan memelihara kepercayaan publik (public trust), menjaga muruah profesi, serta memfasilitasi terciptanya lingkungan belajar yang beretika, protektif, dan kondusif bagi perkembangan holistik peserta didik.

Eksistensi kode etik profesi guru ini mendapatkan legitimasi dan penguatan yuridis melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2024. Secara spesifik, Pasal 8 dan 9 dalam regulasi tersebut mengamanatkan urgensi fasilitasi terhadap organisasi profesi guru serta pembinaan etika profesi yang terintegrasi dalam sistem pengembangan keprofesian berkelanjutan. Hal ini menandakan adanya sinkronisasi antara aspirasi profesional dengan kerangka kebijakan pemerintah.

Dengan demikian, kode etik guru melampaui fungsinya sebagai sekadar dokumen normatif. Ia bertransformasi menjadi instrumen esensial untuk mengukuhkan identitas kolektif dan martabat profesi. Lebih lanjut, kode etik berperan sebagai katalisator dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas dan inklusif, yang secara fundamental berorientasi pada internalisasi karakter luhur serta nilai-nilai universal kemanusiaan pada diri setiap peserta didik.

 

Pengertian Kode Etik Guru

Kode Etik Guru dapat didefinisikan sebagai suatu sistem norma, nilai, dan prinsip etis yang secara sistematis berfungsi untuk mengarahkan dan membingkai seluruh perilaku, sikap, dan tindakan seorang profesional di bidang pendidikan. Kerangka kerja ini menjadi acuan formal dalam pemenuhan tanggung jawab profesional, sosial, dan moral seorang guru terhadap peserta didik, orang tua/wali, masyarakat, rekan sejawat, dan profesi itu sendiri dan dalam definisi Konseptual dan Fungsional kode etik guru Secara konseptual, Kode Etik Guru merupakan instrumen normatif sekaligus kompas moral yang berfungsi sebagai standar acuan tertinggi (highest reference standard) bagi para pendidik dalam menjalankan tugas keprofesionalannya. Kode etik ini secara esensial mentransformasikan nilai-nilai abstrak seperti integritas, objektivitas, keadilan, dan dedikasi menjadi serangkaian pedoman perilaku yang konkret dan terukur dalam praktik pendidikan sehari-hari.

 

B.   KODE ETIK GURU

a.      Siapa yang di sebut guru ?

guru didefinisikan sebagai seorang pendidik profesional yang memiliki afiliasi institusional, baik dengan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh negara maupun institusi swasta, atau entitas lain yang secara kontraktual memberikan mandat. Tugas utamanya adalah menyelenggarakan proses pembelajaran secara terstruktur dan sistematis. Meskipun secara sosiologis setiap individu dapat menjalankan peran edukatif, definisi ini secara sadar membedakan figur guru profesional dari peran edukatif informal yang mungkin dijalankan oleh orang tua atau anggota masyarakat lainnya. Fokusnya terletak pada individu yang secara formal menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan layanan pendidikan. Guru adalah individu yang secara profesional terikat pada suatu institusi (pemerintah, swasta, atau lainnya) dengan kewenangan dan tanggung jawab utama untuk memberikan instruksi pengajaran dan memfasilitasi proses belajar. Kendatipun konsep "guru" secara universal dapat mencakup siapa saja yang mentransfer pengetahuan atau nilai, dalam ranah profesi, istilah ini secara eksklusif diperuntukkan bagi mereka yang secara formal terlibat dan diakui dalam struktur sistem pendidikan, bukan bagi aktor-aktor edukatif di luar sistem tersebut.

 

b.      Pengertian Kode Etik Guru ?

Kode Etik Guru dapat didefinisikan sebagai suatu sistem norma, nilai, dan prinsip etis yang secara sistematis berfungsi untuk mengarahkan dan membingkai seluruh perilaku, sikap, dan tindakan seorang profesional di bidang pendidikan. Kerangka kerja ini menjadi acuan formal dalam pemenuhan tanggung jawab profesional, sosial, dan moral seorang guru terhadap peserta didik, orang tua/wali, masyarakat, rekan sejawat, dan profesi itu sendiri dan dalam definisi Konseptual dan Fungsional kode etik guru Secara konseptual, Kode Etik Guru merupakan instrumen normatif sekaligus kompas moral yang berfungsi sebagai standar acuan tertinggi (highest reference standard) bagi para pendidik dalam menjalankan tugas keprofesionalannya. Kode etik ini secara esensial mentransformasikan nilai-nilai abstrak—seperti integritas, objektivitas, keadilan, dan dedikasi menjadi serangkaian pedoman perilaku yang konkret dan terukur dalam praktik pendidikan sehari-hari.

 

c.       Alasan Utama Pentingnya Kode Etik Profesi

 

Ada 5 alasan mengapa kode etik dibutuhkan, yaitu untuk:

 

1)     Penegakan Integritas Profesional

Kode etik berfungsi sebagai instrumen utama untuk menanamkan dan menegakkan integritas pada setiap individu penyandang profesi. Integritas di sini diartikan sebagai keselarasan fundamental antara prinsip etis yang diyakini, pernyataan yang diucapkan, dan tindakan yang diimplementasikan. Kode etik mendorong anggota profesi untuk secara konsisten memanifestasikan nilai-nilai kejujuran (transparansi dan kebenaran intelektual), keadilan (imparsialitas dan perlakuan ekuivalen tanpa diskriminasi), serta tanggung jawab (akuntabilitas profesional atas segala keputusan dan dampaknya).

 

2)     Pembangunan Legitimasi dan Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik (public trust) adalah modal sosial krusial yang menjadi landasan legitimasi sebuah profesi. Kode etik berperan sebagai deklarasi publik yang menegaskan komitmen kolektif profesi terhadap standar kompetensi dan pelayanan tertinggi. Dengan adanya komitmen yang terartikulasi ini, masyarakat memperoleh jaminan bahwa para praktisi beroperasi di bawah kerangka kerja yang andal dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini secara langsung meningkatkan reliabilitas dan citra profesi, yang pada gilirannya memperkuat kepercayaan masyarakat secara berkelanjutan.

 

3)      Standardisasi Perilaku dan Penjagaan Martabat Profesi

Fungsi vital kode etik adalah untuk melakukan standardisasi perilaku profesional. Ia menetapkan demarkasi yang jelas antara apa yang dianggap sebagai tindakan yang pantas dan tidak pantas dalam ranah profesional. Dengan demikian, setiap anggota profesi memiliki pemahaman yang seragam mengenai batasan-batasan dalam berinteraksi dengan seluruh pemangku kepentingan. Kepatuhan terhadap standar ini secara kolektif akan menjaga muruah atau nama baik (collective reputation) profesi dari tindakan-tindakan individual yang berpotensi merusaknya.

 

4)      Proteksi dan Pemenuhan Hak-Hak Peserta Didik

Dalam konteks keguruan, peserta didik merupakan pemangku kepentingan primer yang paling rentan. Oleh karena itu, kode etik menempatkan perlindungan terhadap mereka sebagai mandat etis tertinggi. Kode etik secara eksplisit mewajibkan setiap guru untuk menjunjung tinggi hak-hak peserta didik, termasuk hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil, proses pembelajaran yang berkualitas, serta lingkungan belajar yang aman secara fisik dan psikologis. Kepentingan terbaik peserta didik (the best interest of the child) harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap pengambilan keputusan profesional.

 

5)      Prevensi Penyalahgunaan Wewenang dan Konflik Kepentingan

Profesi guru memiliki wewenang atau prerogatif yang signifikan terhadap peserta didik, menciptakan relasi kuasa yang asimetris. Kode etik berfungsi sebagai mekanisme kontrol internal untuk mencegah penyalahgunaan wewenang tersebut. Ia menyediakan pedoman yang tegas untuk menghindari tindakan-tindakan yang merugikan, seperti favoritisme, pemaksaan ideologi, atau penggunaan posisi untuk keuntungan pribadi. Lebih lanjut, kode etik membantu mengidentifikasi dan mengelola potensi konflik kepentingan (conflict of interest) agar setiap tindakan tetap objektif dan berfokus murni pada tujuan pendidikan.

 

d.       Kode Etik Prinsip untuk Profesi Mengajar

Seorang guru hendaknya menjunjung tinggi etika dalam ranah ilmu pengetahuan

1.       Etika terhadap Ilmu Pengetahuan, guru harus memiliki:

a)    Integritas Intelektual (Intellectual Integrity): Menghargai hakikat ilmu pengetahuan berarti memahami bahwa setiap disiplin ilmu memiliki pendekatan khas dalam memperoleh, menguji, dan memverifikasi kebenaran, termasuk melalui rekam jejak metodologis yang telah mapan dan diajarkan secara sistematis.

b)    Integritas Profesional (Vocational Integrity): Menjunjung tinggi profesionalisme mengharuskan guru untuk senantiasa mengembangkan diri, belajar secara berkelanjutan, dan menyesuaikan proses pembelajaran dengan kebutuhan peserta didik yang beragam.

c)    Keberanian Moral (Moral Courage): Menunjukkan kemandirian dalam praktik mengajar berarti memiliki keberanian untuk menerapkan metode yang benar secara etis, meskipun pilihan tersebut kurang populer, demi menjaga integritas dalam profesi pendidikan.

 

2.       Etika terhadap Peserta Didik, guru harus:

a)       Mengutamakan Kepentingan Orang Lain (Altruisme): Kemandirian dalam profesi pendidik tercermin dari kesiapan untuk mengajar menggunakan materi atau metode yang mungkin tidak populer, apabila hal tersebut diperlukan demi menjaga integritas intelektual dan profesional.

b)      Bersikap Tidak Memihak (Impartiality): Pengakuan terhadap saling ketergantungan dalam kehidupan sosial menuntut guru untuk mencegah praktik eksploitasi serta menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi setiap individu maupun kelompok.

c)       Memiliki Wawasan Kemanusiaan (Human Insight): Penghormatan terhadap kepentingan peserta didik ditunjukkan melalui upaya mengutamakan kebutuhan mereka, membangun rasa percaya diri, serta menyadari bahwa pendidikan merupakan proses timbal balik antara guru dan siswa.

d)      Memiliki Tanggung Jawab Pengaruh (The Responsibility of Influence): melaksanakan tanggung jawab berarti menyadari dampak jangka panjang dari pengajaran dan berusaha meninggalkan jejak positif bagi peserta didik

 

3.       Etika terhadap Profesi, guru harus memiliki :

a)    Kerendahan Hati (Humility): Kesadaran akan keterbatasan diri mencakup kesiapan untuk mengakui kemungkinan kekeliruan, baik dalam aspek pengetahuan maupun perilaku profesional.

b)    Kolegialitas (Collegiality): Menghargai rekan sejawat dan menjalin kerja sama yang konstruktif mencakup kesediaan untuk saling mendengarkan, belajar, serta bersinergi demi kepentingan peserta didik, meskipun berasal dari latar belakang disiplin ilmu yang berbeda.

c)    Kemitraan (Partnership): Mengembangkan hubungan profesional yang setara dan saling mendukung, ditunjukkan melalui kolaborasi, dialog terbuka, dan pembelajaran bersama antarpendidik lintas disiplin untuk mendukung kebutuhan peserta didik secara optimal.

d)    Tanggung Jawab dan Aspirasi Profesional (Professional Responsibilities and Aspirations): Komitmen terhadap nilai-nilai profesional diwujudkan dalam kesediaan memberikan tanggapan secara terbuka dan konstruktif terhadap kebijakan pendidikan serta menelaah dampak dari proses dan kegiatan pembelajaran

 

 

 

 

e.       Tantangan dalam Penegakan Kode Etik

 

Dalam praktik profesional, guru dihadapkan pada berbagai tantangan dalam menegakkan kode etik. Beberapa di antaranya meliputi:

a)       Pertentangan Antar Prinsip Etika: Guru kerap menghadapi situasi di mana prinsip-prinsip etika saling bertentangan, seperti antara kepentingan peserta didik dan kebutuhan pribadi atau profesional pendidik. Sebagai contoh, dosen di perguruan tinggi harus membagi waktu antara kegiatan pengajaran dan kewajiban melakukan penelitian serta publikasi ilmiah, yang keduanya memiliki urgensi tinggi. Kondisi ini dapat menimbulkan dilema dalam menjalankan tanggung jawab ganda secara seimbang.

b)      Keterbatasan Waktu dan Energi: Tuntutan etis seperti memberikan layanan konseling, pendampingan remedial, atau bimbingan belajar sering kali melampaui jam kerja formal. Sementara itu, guru juga memiliki keterbatasan dalam hal kapasitas fisik dan emosional yang dapat memengaruhi pelaksanaan tanggung jawab tersebut secara optimal.

c)       Tingginya Tuntutan Profesionalisme: Guru diharapkan memiliki pemahaman yang mendalam mengenai dinamika prinsip-prinsip etika serta mampu membuat keputusan yang bermuara pada tanggung jawab moral yang tinggi. Hal ini menuntut kepekaan, refleksi kritis, dan penalaran etis yang matang.

d)      Penilaian yang Bersifat Subjektif: Pengambilan keputusan etis oleh guru kerap dinilai secara sepihak tanpa mempertimbangkan konteks atau kompleksitas dilema yang dihadapi. Sebagai contoh, ketika seorang peserta didik datang terlambat ke sekolah karena kendala transportasi, aturan mungkin mengharuskan pemberian sanksi. Namun, keputusan guru dalam situasi seperti ini sering kali dinilai hanya berdasarkan hasil akhirnya tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku peserta didik tersebut, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam penilaian.

 

  

C.  RANCANGAN PEMBELAJARAN

                Merancang pembelajaran yang memuat unsur kode etik profesi guru dapat dilaksanakan dengan mengikuti tahapan pendekatan pendidikan nilai sebagai berikut:

v  Model Pendekatan                     : Pendidikan Nilai

v  Topik : Kode Etik Guru                : Perlukah Pengaturan Guru Melalui Kode Etik?

v  Target Peserta                               : Teman Sejawat (Guru-Guru Satu Sekolah)

v  Durasi                                              : 80 Menit

 Ã˜ Tujuan Pembelajaran

Melalui kegiatan pembelajaran, peserta didik diharapkan dapat:

1.       Mengidentifikasi kode etik profesi guru dan menjelaskan urgensinya sebagai pedoman perilaku dalam menjalankan tugas profesional.

2.       Menganalisis nilai-nilai utama yang terkandung dalam kode etik guru, seperti integritas, tanggung jawab, dan profesionalisme.

3.       Menunjukkan sikap positif dan komitmen terhadap penerapan prinsip-prinsip etika dalam interaksi sosial dan profesional di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

4.       Menerapkan kode etik guru secara konsisten dalam simulasi atau praktik pembelajaran sesuai dengan konteks dan peran yang diberikan.

5.       Merancang aksi nyata yang mencerminkan upaya internalisasi dan implementasi nilai-nilai etika profesi guru dalam kehidupan sehari-hari

 

Ø Materi Pembelajaran



v 
Makna Kode Etik Guru

·         Pengertian kode etik profesi guru sebagai pedoman moral dan perilaku dalam menjalankan tugas keguruan.

·         Fungsi dan tujuan kode etik dalam menjaga martabat serta kepercayaan publik terhadap profesi guru.

v  Prinsip Dasar Etika Profesi

·         Nilai-nilai fundamental dalam etika profesi guru, seperti integritas, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, dan kepedulian terhadap peserta didik.

·         Peran prinsip etis dalam pengambilan keputusan profesional.

v  Relevansi Kode Etik Guru dalam Pendidikan Nilai

·         Hubungan antara etika profesi dan pendidikan nilai sebagai bagian dari pembangunan karakter.

·         Implementasi nilai-nilai etis dalam proses pembelajaran dan kehidupan sosial di lingkungan sekolah.

v  Studi Kasus Pelanggaran Etik dan Pemodelan Sikap Etis

·         Analisis kasus nyata pelanggaran kode etik guru di lingkungan pendidikan.

·         Strategi penguatan sikap etis melalui pembelajaran reflektif dan pemodelan peran (role modeling).

·         Praktik pengambilan keputusan etis dalam situasi dilematis.

 

Ø Strategi Pendidikan Nilai

                Pendekatan 3 tahap yaitu:

a)     Transformasi Nilai:

1.     Menampilkan berita pelanggaran etika guru sebagai pemantik.

2.     Guru menjelaskan makna dan prinsip kode etik guru.

b)   Transaksi Nilai:

1.      Diskusi Kelompok dan refleksi 5 R (Ringkas, Relevan, Reaksi, Rencana, Revisi) terhadap studi kasus nyata.

2.      Mengadakan Permainan Peran ( roleplay ) untuk menunjukan situasi nyata yang membutuhkan pengambilan pelajaran berdasarkan nilai-nilai profesionalisme

3.      Mengadakan permainan peran (roleplay) untuk menunjukkan situasi nyata yang membutuhkan pengambilan pelajaran berdasarkan nilai-nilai profesionalisme.

c)    Trans-Internalisasi:

1.     Refleksi individu atas nilai yang paling bermakna.

2.     Guru menutup dengan penguatan sikap stis paru professional.

 

Ø Metode : Diskusi kelompok dan Permainan Peran ( roleplay )

Ø Media dan Sumber :

a.       Media: Canva, Kertas Selembar, PPT dan Video Pelanggaran Kode Etik Guru (Youtube/PMM).

b.       Sumber: Buku Ajar Filosofi Pendidikan dan Pendidikan Nilai PPG Bagi Guru Tertentu Tahun 2025.

Ø Pelaksanaan Aksi Nyata

Merancang tiga bentuk aksi nyata dalam menjalankan peran sebagai pembimbing peserta didik agar tumbuh menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur, dengan memformulasikan tindakan secara konsentris berpusat dari diri sendiri, kemudian meluas kepada peserta didik, dan lingkungan sekolah ?



Diagram Lingkaran Konsentris Aksi Nyata Berjenjang merepresentasikan tiga lapisan tanggung jawab yang menggambarkan peran guru sebagai pembimbing dalam nilai dan etika. Proses ini dimulai dari penguatan integritas dan kesadaran etis pada diri sendiri, kemudian diperluas dalam bimbingan terhadap peserta didik, hingga berkontribusi pada transformasi lingkungan sekolah secara lebih luas.

Adapun hasil analisis terhadap model ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

•  Lapisan Pusat – Diri Sendiri:

Lapisan ini menekankan bahwa guru, sebagai figur teladan, harus terlebih dahulu menginternalisasi nilai-nilai etis seperti tanggung jawab, kejujuran, dan integritas. Implementasi nyata dari penguatan nilai ini dapat diwujudkan melalui kegiatan refleksi rutin, menjaga konsistensi antara ucapan dan tindakan, serta menerapkan kedisiplinan dalam kehidupan pribadi maupun profesional.

•  Lapisan Tengah – Untuk Peserta Didik:

Setelah nilai-nilai etis tertanam kuat dalam diri guru, langkah berikutnya adalah membiasakan nilai-nilai tersebut dalam interaksi dengan peserta didik. Hal ini dapat dilakukan melalui pembimbingan etika, penguatan karakter dalam proses pembelajaran, serta penciptaan lingkungan kelas yang mendukung tumbuhnya perilaku beretika.

•  Lapisan Luar – Untuk Sekolah:

Lapisan ini mencerminkan peran guru dalam membangun budaya etis di tingkat institusional melalui kolaborasi dengan rekan sejawat. Aksi nyata dapat berupa penyusunan kode etik bersama, keterlibatan aktif dalam program pembinaan nilai, serta kontribusi dalam menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung pengembangan karakter dan integritas.

dokumentasi :


REFLEKSI PEMBELAJARAN

Pembelajaran mendalam mengenai Filosofi Pendidikan dan Pendidikan Nilai telah memperluas cakrawala pemahaman saya mengenai hakikat dan tujuan fundamental pendidikan. Salah satu diskursus krusial yang muncul dari studi ini adalah pertanyaan fundamental mengenai urgensi regulasi perilaku guru sebagai pendidik. Implementasi aksi nyata yang telah saya laksanakan dalam konteks ini semakin mengukuhkan keyakinan saya bahwa regulasi terhadap perilaku guru bukan hanya merupakan suatu kebutuhan, melainkan sebuah keniscayaan yang esensial.

Melalui proses perancangan dan implementasi program sosialisasi kode etik guru, saya memperoleh pemahaman mendalam mengenai nilai-nilai profesionalisme. Pengalaman ini menegaskan bahwa etika profesi melampaui tataran teoretis dan harus terinternalisasi serta termanifestasi dalam praktik keseharian. Saya sampai pada kesadaran bahwa diskursus mengenai kode etik sejatinya tidak terbatas pada penegasan kembali regulasi yang berlaku, melainkan merupakan sebuah ajakan kolektif untuk merefleksikan makna luhur menjadi seorang pendidik yang menjunjung tinggi martabat, moralitas, dan nilai-nilai kebajikan. Proses ini semakin mempertegas pemahaman saya akan peran sentral guru sebagai teladan (role model) bagi peserta didik dan masyarakat.

Tentu, dalam pelaksanaannya, terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi. Tantangan tersebut mencakup persepsi sebagian rekan sejawat yang masih memandang kode etik sebagai formalitas administratif, adanya keengganan untuk berbagi pengalaman secara terbuka, alokasi waktu diskusi yang terbatas, serta dinamika perbedaan pandangan. Sebagai respons untuk mengatasi tantangan tersebut, saya mengupayakan penciptaan lingkungan diskusi yang kondusif, inklusif, dan non-judgemental, sehingga setiap individu merasa aman untuk menyampaikan pendapat. Selain itu, saya mengintegrasikan metode studi kasus berbasis video berita aktual serta kegiatan bermain peran (role-playing) yang menyajikan dilema etika profesional. Pendekatan ini terbukti efektif dalam menjadikan pembahasan etika lebih kontekstual, relevan, dan mudah dipahami oleh seluruh peserta.

Sebagai rencana tindak lanjut, saya berencana untuk secara berkelanjutan membina budaya reflektif di lingkungan sekolah. Upaya ini akan diwujudkan melalui beberapa strategi: pertama, memfasilitasi forum diskusi periodik bagi para guru untuk menganalisis studi kasus nyata terkait dilema etika dan merumuskan solusi berbasis kode etik. Kedua, mengadvokasikan integrasi nilai-nilai etika secara eksplisit ke dalam berbagai kegiatan sekolah, seperti rapat dewan guru, sesi supervisi, dan program pengembangan diri mandiri. Ketiga, mendorong praktik saling mengingatkan secara konstruktif di antara rekan sejawat untuk senantiasa menjunjung tinggi kode etik profesi sebagai fondasi budaya kerja yang etis dan suportif. Pada akhirnya, saya berkomitmen penuh untuk menjadi teladan dalam penerapan kode etik, karena saya meyakini bahwa perubahan yang paling berdampak dan berkelanjutan berawal dari komitmen serta integritas diri.


Wednesday, June 18, 2025

JURNAL PEMBELAJARAN SOSIAL EMOSIONAL ( CASEL )

 

JURNAL PEMBELAJARAN MODUL 2

PEMBELAJARAN SOSIAL EMOSIONAL MELALUI

PEMBUATAN “WASTE REDUCTION POSTER” UNTUK MENDUKUNG

PROGRAM GERIMIS ( GERAKAN RINGAN MENGURANGI SAMPAH )

DI SMAN 15 BEKASI PADA FASE E

 

 

Di Susun oleh :

Abdul Haris Azis, S.Pd


LPTK Universitas Muhammadyah Prof. Dr. Hamka

PPG GURU TERTENTU TAHAP 1 TAHUN 2025





1.    PENDAHULUAN

PENGERTIAN PEMBELAJARAN SOSIAL EMOSIONAL ( PSE )

Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang terstruktur dan berorientasi jangka panjang, yang dirancang untuk membantu peserta didik khususnya remaja di jenjang Sekolah Menengah Atas, dalam mengembangkan kecakapan sosial dan emosional yang dibutuhkan dalam kehidupan pribadi, akademik, dan sosial mereka. PSE menekankan pentingnya mendampingi siswa bukan hanya dalam pencapaian akademik, tetapi juga dalam membentuk karakter, memperkuat integritas moral, serta menumbuhkan kesadaran diri dan empati terhadap orang lain.

Bagi siswa SMA, masa remaja merupakan periode kritis yang penuh dengan tantangan perkembangan, seperti pencarian jati diri, tekanan sosial, dinamika hubungan pertemanan, dan tuntutan akademik. Dalam konteks inilah PSE menjadi semakin relevan. Berikut adalah lima kompetensi utama dalam PSE yang sangat penting untuk dikuasai siswa SMA, yang sekaligus dapat menjadi panduan praktis bagi guru dalam merancang kegiatan pembelajaran yang bermakna secara emosional dan sosial, Kesadaran Diri (Self-Awareness) adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi, pikiran, dan nilai-nilai yang mereka anut, serta memahami bagaimana semua itu memengaruhi perilaku dan keputusan mereka sehari-hari.Bagi remaja SMA, kesadaran diri sangat penting karena mereka mulai mengalami perubahan emosi yang kompleks dan identitas diri yang sedang terbentuk. Guru dapat membantu siswa membangun kesadaran ini melalui refleksi diri, jurnal pribadi, diskusi nilai, serta pengenalan terhadap konsep seperti self-concept dan self-esteem. Dengan meningkatnya kesadaran diri, siswa menjadi lebih mampu mengelola tekanan, mengenali potensi diri, dan memahami arah hidup mereka ke depan. Manajemen Diri (Self-Management) Kompetensi ini mencakup kemampuan untuk mengatur emosi, pikiran, dan perilaku secara produktif dalam berbagai situasi, termasuk kemampuan mengendalikan impuls, mengelola stres, menetapkan tujuan pribadi, dan memotivasi diri.

Siswa SMA dihadapkan pada berbagai tekanan akademik, sosial, bahkan keluarga. Kemampuan untuk tetap tenang, fokus, dan gigih dalam menghadapi tantangan sangat penting untuk mereka kuasai. Guru dapat membantu dengan membimbing siswa membuat perencanaan tujuan (goal setting), strategi manajemen stres (seperti teknik pernapasan, journaling, atau mindfulness), dan cara-cara untuk menunda kepuasan demi hasil jangka panjang. Kesadaran Sosial (Social Awareness) berarti kemampuan siswa untuk memahami dan menghargai perspektif orang lain, termasuk dari latar belakang budaya, nilai, dan pengalaman yang berbeda, serta menunjukkan empati terhadap sesama.

Remaja SMA mulai berinteraksi lebih luas dan kompleks dengan berbagai kelompok sosial. Di sinilah letak urgensi peran pendidik dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi pengembangan nilai-nilai toleransi, sikap terbuka (open-mindedness), dan kompetensi empatik. Aktivitas seperti studi kasus sosial, diskusi kelompok tentang isu-isu kemanusiaan, atau proyek layanan masyarakat dapat menjadi sarana efektif dalam mengembangkan kesadaran sosial siswa. Keterampilan Hubungan (Relationship Skills) Kompetensi ini mencakup kemampuan siswa untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang sehat dan saling menghargai, menyampaikan pikiran dan perasaan dengan efektif, bekerja sama, serta menyelesaikan konflik secara konstruktif.

Di masa SMA, hubungan pertemanan dan percintaan mulai menjadi bagian penting dalam kehidupan siswa. Di sinilah peran guru menjadi krusial untuk membantu mereka belajar cara berkomunikasi asertif, menghargai perbedaan, dan menangani konflik tanpa kekerasan. Guru juga dapat memberikan simulasi, role play, dan forum diskusi untuk memperkuat keterampilan ini.

Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab (Responsible Decision-Making) Ini adalah kemampuan untuk membuat pilihan berdasarkan nilai etika, norma sosial, dan pertimbangan terhadap keselamatan serta kesejahteraan diri sendiri dan orang lain. Siswa SMA menghadapi banyak keputusan penting—mulai dari memilih jurusan kuliah, menjauhi perilaku berisiko, hingga menentukan arah hidup. Dengan memfasilitasi pengembangan kompetensi pengambilan keputusan yang berbasis nilai-nilai etika, pendidik berperan strategis dalam membentuk karakter peserta didik yang memiliki akuntabilitas sosial untuk menghadapi tantangan masa depan. Pengembangan kompetensi ini dapat difasilitasi secara efektif melalui kegiatan seperti analisis studi kasus nyata, diskusi etika, serta eksplorasi skenario dilema moral yang memungkinkan peserta didik melatih keterampilan pengambilan keputusan secara reflektif dan bertanggung jawab

5 Kompetensi Sosial Emosional Menurut CASEL (Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning)

Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) yang efektif harus mencakup pengembangan lima kompetensi utama yang saling berkaitan. Kompetensi ini menjadi dasar dalam membentuk karakter, memperkuat hubungan sosial, dan mendorong pencapaian akademik serta kesejahteraan psikologis siswa, terutama pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), di mana para remaja berada dalam masa transisi emosional dan sosial yang kompleks.

1. Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi, pikiran, kekuatan, kelemahan, nilai-nilai pribadi, serta bagaimana semua itu memengaruhi perilaku dan pengambilan keputusan. Kesadaran diri bukan hanya mengenali perasaan sesaat, tetapi juga memahami pola emosi dan menyadari reaksi yang mungkin timbul dalam situasi tertentu.

Contoh di kelas:

Seorang siswa menyadari bahwa setiap kali mendapat kritik terhadap hasil karyanya, ia cenderung langsung merasa tersinggung dan kehilangan motivasi. Namun setelah melakukan refleksi diri—melalui jurnal pribadi yang diberikan guru—ia mulai memahami bahwa kritik tersebut bukan bentuk penolakan terhadap dirinya, melainkan bagian dari proses belajar. Ia juga mulai memahami bahwa kekuatan utamanya terletak pada berpikir visual dan imajinatif, sementara ia perlu bekerja lebih keras dalam keterampilan verbal. Guru mendorong siswa untuk mengungkapkan perasaan tersebut dalam diskusi terbuka, menciptakan budaya kelas yang mendukung kesadaran emosional.

2. Manajemen Diri (Self-Management)

Kemampuan untuk secara sadar mengelola emosi, pikiran, dan perilaku dalam situasi yang menantang. Termasuk pula pengendalian diri, manajemen stres, disiplin diri, motivasi internal, dan kemampuan menetapkan serta mencapai tujuan.

Contoh mendalam di kelas:

Menjelang ujian presentasi kelompok, seorang siswa yang biasanya gugup belajar menerapkan teknik pernapasan dalam dan positive self-talk yang telah diajarkan guru BK. Ia juga membuat to-do list dan time block pada kalender untuk menyelesaikan tugas tahap demi tahap. Meskipun beberapa temannya mengajak bermain gim online, ia memilih tetap pada rencana yang telah ia tetapkan. Guru menghargai usaha manajemen diri tersebut dengan memberikan ruang refleksi setelah presentasi agar siswa bisa meninjau proses mereka secara konstruktif.

3. Kesadaran Sosial (Social Awareness)

Kemampuan untuk menunjukkan empati, memahami perspektif orang lain, dan mengenali norma-norma sosial dan etika yang berlaku dalam konteks sosial yang beragam. Kesadaran sosial mencakup sensitivitas terhadap perbedaan budaya, latar belakang, dan kondisi individu.

Contoh di kelas:

Dalam proyek kelompok lintas kelas tentang keberagaman budaya Indonesia, seorang siswa awalnya tidak sepakat dengan gagasan temannya yang berasal dari suku berbeda tentang cara penyajian materi. Namun, setelah mendengarkan dengan aktif dan memahami latar belakang budaya temannya, ia menyadari bahwa perbedaan pendekatan justru memperkaya hasil akhir. Ia kemudian menyampaikan penghargaannya terhadap perspektif tersebut dan mendukung ide untuk menyatukan dua pendekatan sebagai bentuk kolaborasi lintas budaya. Guru memfasilitasi pembelajaran ini dengan sesi refleksi tentang keberagaman dan inklusi.

4. Keterampilan Berhubungan (Relationship Skills)

Kemampuan untuk menjalin dan mempertahankan hubungan yang sehat dan saling mendukung, termasuk keterampilan komunikasi yang efektif, kerja sama tim, menyelesaikan konflik secara damai, dan kemampuan menolak tekanan sosial secara asertif.

Contoh di kelas:

Dalam kerja kelompok membuat kampanye sosial digital, seorang siswa mengambil peran sebagai koordinator. Ia memastikan bahwa setiap anggota kelompok merasa didengar, membagi tugas berdasarkan kekuatan masing-masing, dan mengatur waktu diskusi yang fleksibel. Ketika terjadi ketegangan karena seorang anggota tidak menyelesaikan tugasnya tepat waktu, ia tidak menyalahkan langsung, melainkan mengajak bicara secara pribadi, mencari tahu penyebabnya, dan menawarkan bantuan sambil tetap menjaga batasan. Guru mengamati proses ini dan memberikan penguatan atas kemampuan kepemimpinan empatik dan komunikasi efektif yang ditunjukkan siswa.

5. Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab (Responsible Decision-Making)

Kemampuan untuk membuat keputusan yang etis, konstruktif, dan penuh pertimbangan, baik dalam konteks pribadi maupun sosial. Ini mencakup kemampuan mengevaluasi konsekuensi dari tindakan, mempertimbangkan kesejahteraan diri dan orang lain, serta menghargai norma-norma sosial.

Contoh di kelas:

Dalam proyek kampanye lingkungan, kelompok siswa dihadapkan pada pilihan: apakah mereka akan menampilkan data dari blog populer (yang tidak jelas sumbernya) atau menggunakan data ilmiah dari jurnal yang kurang menarik secara visual. Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan dampak sosial dari penyebaran informasi yang tidak valid, mereka memutuskan untuk tetap menggunakan data terpercaya meski tampilannya sederhana. Mereka juga memilih narasi ajakan yang ramah dan membangun, bukan menyalahkan, untuk menumbuhkan kepedulian teman-temannya terhadap isu pengelolaan sampah. Keputusan ini menunjukkan kematangan dalam berpikir kritis, tanggung jawab sosial, dan integritas akademik.

 Peran Guru dalam Menanamkan Kompetensi CASEL Sebagai pendidik di jenjang SMA, guru berperan penting sebagai fasilitator, pembimbing, dan teladan dalam pengembangan kompetensi sosial emosional. Pembelajaran sosial emosional tidak harus selalu dalam bentuk sesi formal, tetapi bisa terintegrasi dalam setiap interaksi, proyek kolaboratif, atau cara guru menangani dinamika kelas.

Melalui pemahaman dan penerapan lima kompetensi CASEL secara mendalam, siswa tidak hanya akan menjadi pembelajar yang lebih efektif, tetapi juga tumbuh sebagai individu yang cakap dalam menghadapi kompleksitas dunia nyata dengan empati, integritas, dan rasa tanggung jawab.

2.    LATAR BELAKANG PROGRAM

Latar belakang Program GERIMIS berawal dari situasi di SMAN 15 Bekasi yang memiliki produksi sampah tinggi, sehingga kami mencari solusi untuk mengurangi volume sampah yang tinggi tersebut, mengingat perbandingan tempat sampah yang sedikit dibandingkan dengan jumlah siswa SMAN 15 Bekasi yang lebih dari 1200, sehingga volume sampah yang dihasilkan cukup besar dan mengakibatkan petugas pengambil sampah kesulitan menangani banyaknya sampah yang harus diambil. Kepala Sekolah dan para Wakasek mencari solusi untuk mengurangi jumlah sampah dengan merancang program, lalu muncul ide dari Pak Iksan sebagai Wakasek Bidang Litbang untuk program GERIMIS (Gerakan Ringan Mengurangi Sampah) yang dilaksanakan setiap hari Jumat. Setiap siswa diwajibkan membawa tumbler, wadah makanan, dan plastik sampah untuk membuang sampahnya sendiri yang kemudian dibawa pulang. Alhamdulillah, program ini mendapatkan dukungan dari siswa, seluruh warga sekolah, juga Komite Sekolah dan orang tua siswa SMAN 15 Bekasi.

Alhamdulillah dengan adanya Program GERIMIS banyak manfaat yang dirasakan bagi SMAN 15 Bekasi selain mengurangi debit sampah yang tinggi dan membantu meringankan tugas para pengambil sampah dan dampak yang paling utama adalah menumbuhkan kesadaran diri dikalangan siswa, serta bertanggung jawab bagaimana menjaga kebersihan di lingkungan sekolah dan sampahnya tidak dibuang sembarangan dilingkungan sekolah dengan cara membuang sampah pada plastik sampah yang dibawanya dari rumah dan sampah tersebut dibawa pulang ke rumah masing-masing.

3.    INISIASI PROJEK

Saya memperoleh pengalaman yang signifikan dalam pengembangan kompetensi sosial dan emosional melalui partisipasi aktif dalam program GERIMIS (Gerakan Ringan Mengurangi Sampah) yang dilaksanakan di SMAN 15 Bekasi. Program ini bersifat kolaboratif dan melibatkan seluruh warga sekolah, termasuk guru dan siswa dari berbagai jenjang. Dalam konteks kegiatan ini, saya mengambil peran dalam mendiseminasikan nilai-nilai program melalui perancangan media komunikasi visual berupa poster dan infografis edukatif, yang secara khusus merepresentasikan nilai-nilai fundamental dari Pembelajaran Sosial Emosional (PSE), yaitu: kesadaran diri (self-awareness), manajemen diri (self-management), kesadaran sosial (social awareness), keterampilan berelasi (relationship skills), dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab (responsible decision-making).

Proses pelaksanaan proyek ini diawali melalui diskusi kelompok terstruktur di kelas, di mana siswa didorong untuk menyampaikan pandangan dan gagasannya secara terbuka mengenai tema, desain visual, serta substansi pesan yang ingin disampaikan dalam poster dan infografis GERIMIS. Masing-masing anggota kelompok diberi ruang untuk mengemukakan pendapat, mendengarkan perspektif teman lain, serta terlibat dalam proses pengambilan keputusan kolektif berdasarkan kesepakatan mayoritas yang demokratis.

Keterlibatan dalam diskusi ini menjadi sarana reflektif bagi saya untuk memahami pentingnya empati, toleransi, dan keterbukaan terhadap keberagaman pandangan dalam suatu kerja kolaboratif. Selain itu, melalui dinamika kelompok tersebut, saya belajar untuk mengelola pendapat pribadi, menahan ego, serta memprioritaskan tujuan bersama di atas kepentingan individual. Dengan demikian, kegiatan ini tidak hanya berdampak pada peningkatan kemampuan teknis dalam desain komunikasi visual, tetapi juga memperkuat integrasi kompetensi sosial emosional secara nyata dalam konteks pendidikan berbasis proyek di lingkungan sekolah.

Secara keseluruhan, keterlibatan saya dalam program GERIMIS memberikan kontribusi bermakna dalam penguatan kapasitas diri sebagai pelajar yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga cakap dalam berinteraksi sosial, menyelesaikan konflik secara konstruktif, dan mengambil keputusan yang beretika dan bertanggung jawab terhadap lingkungan serta masyarakat sekolah

4.    PERENCANAAN DAN PEMBAGIAN TUGAS

Dalam proses pelaksanaan proyek pembuatan media kampanye untuk program GERIMIS (Gerakan Ringan Mengurangi Sampah) di SMAN 15 Bekasi, seluruh anggota kelompok terlibat secara aktif dalam tahap perencanaan dan pembagian tugas yang dilakukan secara sistematis dan berbasis pada identifikasi keahlian, minat individu, serta potensi kreatif masing-masing siswa. Proses ini menjadi bagian penting dari pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) yang menekankan prinsip kolaborasi dan tanggung jawab bersama.

Setiap peserta didik diberikan kesempatan untuk mengambil peran sesuai dengan kompetensinya, antara lain: menentukan tema utama kampanye, merancang elemen desain visual poster, menyusun informasi edukatif yang akan disampaikan dalam bentuk infografis, hingga melakukan proses teknis pencetakan pada media ukuran A3. Penugasan ini tidak bersifat top-down, melainkan melalui musyawarah kelompok yang mengedepankan partisipasi setara, sehingga setiap individu merasa dihargai kontribusinya dan memiliki rasa kepemilikan terhadap hasil akhir proyek.

Pengalaman ini memberikan pembelajaran bermakna bagi saya dan rekan-rekan lainnya, khususnya dalam memahami pentingnya kerja sama tim (teamwork), koordinasi efektif, dan distribusi peran yang proporsional dalam menyelesaikan tugas-tugas bersama. Di samping itu, kegiatan ini turut mengembangkan kemampuan dalam berkomunikasi secara interpersonal, menyelesaikan masalah secara bersama-sama, serta mengelola waktu dan sumber daya secara optimal—semua merupakan keterampilan penting yang dibutuhkan baik dalam konteks pendidikan maupun dunia kerja.

Dengan demikian, perencanaan dan pembagian tugas dalam proyek ini tidak hanya mendukung pencapaian tujuan program GERIMIS secara teknis, tetapi juga berkontribusi langsung terhadap penguatan kompetensi sosial emosional, khususnya dalam hal khususnya dalam penguatan kemampuan menjalin relasi interpersonal serta keterampilan mengambil keputusan yang beretika dan berpihak pada kepentingan bersama, sebagaimana diacu dalam kerangka konseptual pembelajaran sosial emosional menurut CASEL.

5.    PELAKSANAAN PROYEK

Pada tahap pelaksanaan proyek pembuatan “waste reduction poster” Program GERIMIS, yang terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran bahasa inggris, siswa secara aktif terlibat dalam proses kolaboratif yang menuntut interaksi antarpersonal yang intensif. Dalam dinamika kelompok yang berlangsung, muncul sejumlah perbedaan pendapat terkait pemilihan konsep visual, struktur informasi, dan strategi penyampaian pesan. Meskipun perbedaan tersebut berpotensi menimbulkan gesekan, situasi ini justru menjadi ruang belajar yang otentik bagi siswa dalam mengasah keterampilan sosial dan emosional mereka.

Melalui fasilitasi guru dan kesadaran akan pentingnya komunikasi yang konstruktif, siswa belajar untuk mengartikulasikan gagasan secara jelas, mendengarkan secara aktif, serta menunjukkan sikap saling menghargai dalam diskusi kelompok. Proses ini juga mendorong terciptanya negosiasi dan kompromi yang didasarkan pada pertimbangan bersama, sehingga solusi yang diambil bersifat inklusif dan dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok.

Lebih dari sekadar pencapaian produk akhir, pengalaman ini menjadi pembelajaran transformatif yang memperkuat nilai-nilai kesabaran, empati, dan kedewasaan emosional dalam menyikapi perbedaan. Hal ini menunjukkan bagaimana lingkungan belajar yang kolaboratif mampu mendorong siswa untuk tumbuh tidak hanya sebagai individu yang kreatif, tetapi juga sebagai pribadi yang mampu menjalin hubungan sosial yang sehat dan menyelesaikan konflik secara adaptif. 

6.    PELAKSANAAN PROYEK

Pelaksanaan kegiatan pembelajaran berbasis proyek dalam program GERIMIS (Gerakan Ringan Mengurangi Sampah) memberikan dampak yang signifikan terhadap penguatan kompetensi sosial emosional siswa. Berdasarkan hasil observasi dan refleksi yang diperoleh selama proses pembelajaran, tampak bahwa partisipasi aktif siswa dalam proyek ini telah mendorong perkembangan berbagai dimensi kompetensi yang dikembangkan dalam kerangka CASEL (Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning). Adapun capaian pembelajaran sosial emosional yang teridentifikasi meliputi:

a.       Kesadaran Diri (Self-Awareness):

Siswa menunjukkan peningkatan dalam kesadaran terhadap tanggung jawab pribadi, terutama dalam hal menjaga kebersihan lingkungan sekolah. Mereka memahami peran individu dalam mendukung terciptanya ekosistem sekolah yang bersih dengan membuang sampah pada tempatnya sebagai bentuk konkret dari kesadaran lingkungan dan nilai tanggung jawab diri.

b.      Manajemen Diri (Self-Management):

Siswa mampu mengelola emosi dan mengatur perilaku secara konstruktif, khususnya saat menghadapi dinamika kelompok yang melibatkan perbedaan pendapat dalam diskusi pembuatan poster dan infografis. Mereka menerapkan strategi komunikasi yang asertif serta menunjukkan ketahanan emosional dalam situasi yang menuntut pengendalian diri.

c.       Kesadaran Sosial (Social Awareness):

Kemampuan siswa dalam memahami perspektif dan menghargai pendapat orang lain mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari keterbukaan mereka dalam menerima ide dari teman sekelompok yang berasal dari latar belakang pemikiran berbeda, serta kepekaan terhadap dinamika sosial selama proses diskusi kelompok.

d.      Keterampilan Berhubungan (Relationship Skills):

Siswa mampu menjalin interaksi yang sehat dan produktif, dengan cara menyampaikan ide secara aktif berdasarkan minat, bakat, dan kreativitas masing-masing. Kolaborasi yang terjadi dalam penyusunan materi poster dan infografis memperlihatkan kemampuan mereka dalam bekerja sama, membagi peran, dan saling mendukung dalam mencapai tujuan bersama.

e.       Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab (Responsible Decision-Making):

Siswa menunjukkan keterampilan dalam membuat keputusan yang reflektif dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak. Hal ini tampak saat mereka memilih tema, desain visual, serta konten informasi yang akan disampaikan dalam poster dan infografis GERIMIS. Mereka juga mampu menyusun solusi yang kompromis saat terjadi perbedaan pendapat, dengan tujuan menjaga keharmonisan dan efektivitas kerja kelompok.

Selain kelima aspek utama di atas, kegiatan ini juga memberikan kontribusi tambahan berupa peningkatan empati antar siswa, kemampuan pengelolaan emosi yang lebih baik, serta peningkatan kualitas kerja sama tim. Proyek ini tidak hanya menghasilkan produk visual yang edukatif, tetapi juga menjadi wahana nyata untuk menginternalisasi nilai-nilai sosial emosional dalam konteks pembelajaran yang autentik dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.

7.    EVALUASI DAN UMPAN BALIK

Setelah kegiatan proyek pembuatan “waste reduction poster” program GERIMIS diselesaikan, dilakukan tahap evaluasi formatif dan refleksi bersama yang melibatkan baik peserta didik maupun rekan-rekan pendidik. Proses ini bertujuan untuk meninjau efektivitas pembelajaran, menilai proses kolaboratif yang telah berlangsung, serta mengidentifikasi pencapaian dan area pengembangan yang perlu diperkuat pada kegiatan serupa di masa mendatang.

Dalam sesi umpan balik yang dilaksanakan di kelas, saya menyampaikan apresiasi atas partisipasi aktif, semangat kolaboratif, dan etos kerja yang ditunjukkan siswa sepanjang pelaksanaan proyek. Penekanan diberikan pada keberhasilan mereka dalam menerapkan nilai-nilai kerja sama tim, komunikasi efektif, serta kreativitas dalam menyusun media kampanye edukatif yang relevan dengan isu lingkungan sekolah.

Selain itu, masukan dari sesama guru yang turut mengamati jalannya proyek juga mencerminkan pengakuan positif terhadap pendekatan pembelajaran yang diterapkan. Rekan-rekan guru menilai bahwa kegiatan ini berhasil mengintegrasikan keterampilan abad ke-21 dengan nilai-nilai sosial emosional secara seimbang, serta memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa.

Kegiatan evaluasi dan pemberian umpan balik ini menjadi bagian integral dari siklus pembelajaran reflektif, yang tidak hanya memperkuat capaian kognitif dan afektif peserta didik, tetapi juga mendorong pengembangan profesionalisme guru dalam merancang dan melaksanakan strategi pembelajaran yang kontekstual dan transformatif.

8.    PENERAPAN DAN REFLEKSI

Implementasi rancangan pembelajaran sosial emosional (PSE) dalam konteks pembuatan “Waste Reduction Poster” Program GERIMIS menunjukkan hasil yang konstruktif dan transformatif dalam dinamika pembelajaran di kelas. Dengan pendekatan yang berbasis proyek dan kolaboratif, para siswa menunjukkan tingkat keterlibatan yang tinggi, ditandai dengan antusiasme, inisiatif, dan partisipasi aktif dalam setiap tahapan kegiatan. Selama proses berlangsung, siswa tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif dan teknis dalam desain visual dan penyampaian pesan edukatif, tetapi juga menunjukkan indikator positif dalam penguatan kesadaran diri (self-awareness) dan kesadaran sosial (social awareness). Mereka mulai memahami nilai-nilai personal dan tanggung jawab individu terhadap isu lingkungan, sekaligus meningkatkan sensitivitas terhadap dinamika kelompok dan kepentingan bersama. Secara umum, atmosfer kelas mengalami pergeseran yang signifikan menuju iklim belajar yang lebih inklusif, suportif, dan kondusif. Hubungan antar siswa menjadi lebih terbuka dan komunikatif, serta tercipta ruang belajar yang memungkinkan pertumbuhan karakter dan kolaborasi yang sehat. Refleksi terhadap penerapan ini mengonfirmasi bahwa integrasi dimensi sosial emosional ke dalam kegiatan pembelajaran berbasis proyek bukan hanya memperkaya proses akademik, tetapi juga memperkuat pembentukan profil pelajar yang utuh dan adaptif terhadap tantangan sosial kontekstual.

9.    KESIMPULAN

Pengalaman pembelajaran ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman saya mengenai urgensi dan relevansi penerapan pembelajaran sosial emosional (PSE) dalam konteks kehidupan sekolah dan praktik pendidikan sehari-hari. Kegiatan kolaboratif yang dilakukan, khususnya melalui komunikasi yang konstruktif dan kerja sama yang efektif antar siswa, telah menunjukkan bahwa penguatan kompetensi sosial emosional mampu menciptakan iklim pembelajaran yang inklusif, suportif, dan transformatif. Penerapan nilai-nilai seperti empati, kesadaran diri, serta keterampilan berinteraksi sosial terbukti mendorong tercapainya hasil pembelajaran yang tidak hanya bermakna secara kognitif, tetapi juga berdampak pada pembangunan karakter peserta didik dan hubungan antarwarga sekolah yang lebih harmonis. Ke depan, saya meyakini bahwa integrasi aspek sosial emosional dalam berbagai bentuk proyek pembelajaran tidak hanya akan memperkaya proses pedagogis, tetapi juga membentuk fondasi penting bagi pengembangan kepribadian dan kompetensi sosial yang berkelanjutan. Oleh karena itu, saya berkomitmen untuk terus mengimplementasikan prinsip-prinsip pembelajaran sosial emosional dalam program-program pendidikan di sekolah maupun dalam kehidupan pribadi sebagai bagian dari praktik reflektif dan penguatan karakter.

10.    DOKUMENTASI

- HARI PERTAMA ( Perencanaan Program Gerimis )



                   HARI KEDUA ( Diskusi Kelompok )



                    HARI KETIGA ( Presentasi Hasil Proyek Poster )